December 13, 2012

A short story (wow, I'm so creative at coming up with titles)

Yes, I know what you're thinking. And I can't believe it either. I just wrote a short story in Indonesian. Ugh. Whatever, this is a short story I wrote for a competition. So it will mean A LOT to me if you tell me what needs to be changed and how I can improve my story-writing. Thank you so much for reading!


Indonesia, Negaraku yang Dulu Kubenci

Dear Nick, I love you. Sungguh, aku sayang kamu. Tapi kalau aku harus memilih antara kamu atau Indonesia – “ suratnya terputus begitu saja. Aku memberanikan diri dan membalik surat tersebut. “The next time we meet, it will be at the most beautiful place in Indonesia (Pertemuan kita berikutnya akan berada di tempat yang paling indah di Indonesia). With love, Dewi.”
Aku meremas surat itu dan melemparnya sekuat tenaga ke arah tembok. Really, Dewi? (Kamu serius, Dewi?) Kita cuma punya waktu kurang dari lima hari dan kamu merasa ini waktu yang cocok untuk main petak umpet?
What’s wrong, daddy? (Ada apa, Ayah?)” Kathleen akhirnya terbangun dan keluar dari kamar tidurnya.
Nothing (tidak ada apa-apa), Kath. Go back to sleep (Tidurlah lagi),” aku mengibaskan tanganku ke arah Kath tanpa meliriknya.
“Di mana Mommy?” Kath mengusap matanya dengan tangan kanannya. Tangan kirinya memeluk boneka beruang hadiah ulang tahun ketujuhnya yang baru saja lewat dua bulan lalu.
“Mommy pergi keluar sebentar, dia akan pulang sebentar lagi. Go back to sleep (Kembali tidurlah).” Aku bangkit dari kursiku dan membelai rambut pirang Kath yang bersinar keemasan. “OK?”
Kath mengangguk dan berjalan kembali ke arah kamar tidur. Detak bunyi jam dinding yang pelan terdengar menggelegar di subuh yang sunyi ini. 4:30 pagi. Desahan halus terlepas dari mulutku. Aku melihat ke sekeliling dan melihat handphone Dewi tergeletak di atas meja makan di sebelah ia meletakkan suratnya. Pandanganku lalu tertuju pada surat kusut yang terkulai di lantai. The most beautiful place in Indonesia, huh? (Tempat terindah di Indonesia?) Aku menggumam seraya membuka laptopku. Better start looking, then (Lebih baik aku mulai mencari kalau begitu).
--
Aku menyeruput kopi hitamku yang mulai menjadi dingin. Matahari menyeruak menerangi meja kerjaku. Setelah bertanya pada Google dan teman-teman Dewi, aku memiliki dua pilihan: Karimunjawa dan Raja Ampat. Tepat setelah aku memesan dua tiket pesawat ke Raja Ampat untuk besok lusa, Kath muncul di belakangku. Ia masih memeluk boneka beruangnya dengan erat. “What’s for breakfast? (Ada sarapan apa?)” katanya sambil menguap lebar-lebar.
Nothing (tidak ada apa-apa),” aku berdiri dan menutup laptop. “Get ready (bersiaplah), Kath. We’re going on an adventure (Kita akan pergi berpetualang).” Mata Kath terbelalak dan ia berteriak kegirangan selagi ia bersiap-siap.
--
“Daddy, kita kemana pergi?” Dewi dan aku memang lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Inggris sehari-hari, sehingga bahasa Indonesia Kath masih agak canggung.
“Juanda,” kataku dengan mata tetap terpaku pada jalanan Surabaya yang dipenuhi oleh sepeda motor. “Kita pergi mencari Mommy,” aku mencoba menekan kegelisahanku, tapi suaraku tetap bergetar. “Mommy sedang berada at the most beautiful place in Indonesia (tempat terindah di Indonesia). Kath tau di mana kira-kira mommy berada?”
Kath menggelengkan kepalanya. “Di mana?”
“Daddy rasa di Karimunjawa atau Raja Ampat.”
Why there? (Kenapa dua tempat itu?)” Aku dapat merasakan tatapan matanya tertuju ke arahku.
You were still young back then (Kamu masih anak-anak dulu), tapi dulu daddy pernah ngajak mommy pergi hiking, ga sampe satu jam, mommy sudah merengek-rengek minta pulang. Mukanya pucat seperti salju. Mommy ga pernah ngaku, tapi daddy rasa mommy takut ketinggian deh,” aku tersenyum mengingat-ingat kejadian itu. “That’s why daddy rasa mommy ga pergi ke gunung.”
How about other places? (Bagaimana dengan tempat lain?)” Kath bertanya sambil memeluk bonekanya lebih erat.
Yes, memang ada banyak pantai lain, seperti Lombok atau Bali. Tapi mommy ga suka keramaian, remember?”
Kath mengangguk. “So, where are we going? (Jadi, kita pergi kemana?)”
“Semarang. We’re going to Karimunjawa (Kita pergi ke Karimunjawa),” jawabku sambil mengambil karcis parkir Juanda.
--
Dua juta rupiah dan dua jam kemudian, Kath dan aku tiba di Semarang. Kami lalu bertanya-tanya kepada orang-orang cara pergi ke Karimunjawa. Rupanya untuk mencapai Karimunjawa, kami perlu menaiki kapal dari pelabuhan Semarang, Tanjung Emas.
Sesampainya di Tanjung Emas, aku dan Kath dihadapkan dengan pemandu wisata yang terlalu ramah.
“Halo halo! Where you go guys? (Kalian mau ke mana?)” Kulit pemandu wisata tersebut terlihat gosong terbakar sengatan matahari. Bahasa Inggrisnya memang tidak terlalu bagus, tapi aku dapat merasakan semangatnya.
“Kami mau pergi ke Karimunjawa,” aku menjawab seraya menepuk kepala Kath yang dilindungi oleh topi jerami.
Pemandu wisata tersebut tertegun untuk sementara, mungkin ia tidak menyangka bahwa aku bisa berbicara bahasa Indonesia dengan lancar, atau mungkin ia sedih karena ia tidak mendapatkan peluang untuk memamerkan bahasa Inggris capjay-nya. “Karimunjawa? Yes yes, ikuti saya please.” Pemandu wisata tersebut – yang ternyata bernama Joni – pun mulai berjalan dan melambaikan tangannya mengisyaratkan agar kami mengikutinya.
Tidak sampai lima menit berjalan, aku dan Kath berdiri di sebuah loket. Di belakang loket tersebut, duduk seorang nenek. “Karimunjawa?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Satu orang dewasa, satu anak kecil,” kataku sambil melirik ke arah Kath yang mengibas-ngibaskan bajunya yang basah oleh keringat. Panas kota Semarang hari ini memang sudah melampaui batas normal.
“Ferry Semarang-Karimunjawa cuma ada sampai jam 12 siang.” Nenek melengos sambil menunjuk ke arah poster yang tertempel di tembok dekat loket. Memang disana tertempel jadwal perjalanan ferry dan waktu tempuh rata-rata untuk sekali jalan. Tiga setengah jam. “Kembali saja besok pagi.”
Aku melihat ke arah jam tanganku. Jam dua siang. Setelah ditolak seperti itu, biasanya aku akan mengangguk lemas dan kembali keesokan paginya. Tapi tidak kali ini. “Kami harus sampai di Karimunjawa hari ini juga, Nek,” seruku dengan mata tajam lurus menatapnya.
Mata nenek itu terbelalak. Tidak mengherankan. Aku menyangka kata-kata berikutnya yang akan keluar dari mulutnya adalah ‘Kalau mau sampai hari ini juga, kenapa tidak beli dari tadi pagi!?’ Namun kalimat yang keluar sangatlah berbeda. “Dari Semarang ke Karimunjawa butuh waktu tiga setengah jam. Pulang pergi tujuh jam. Kapal yang berangkat sekarang baru bisa kembali jam sembilan malam. Terlalu malam dan berbahaya untuk berlayar… Tidak bisa berlayar hari ini, kecuali kamu menemukan orang yang bersedia berlayar dan menginap di sana,” nenek menghembuskan nafas panjang sebelum berpaling dan mengaitkan matanya  pada Joni.
Joni tersentak dan melihat ke arah nenek dan aku secara bergantian dengan mata terbelalak, “Ya?” tanyanya kebingungan.
Aku memegang kedua pundak Joni, “Please, Joni, I beg you. (Tolong aku, Jon.)”
Bahkan Kath melepas topinya dan menundukkan kepalanya. “Please,” pintanya.
Joni memejamkan matanya sambil menggerutu, “Fine. This just once, okei? (Baiklah, hanya kali ini saja, oke?)” Aku dapat menahan tawaku, tapi tidak demikian dengan Kath. Ia terkekeh kecil. Aku menepuk kepalanya dan meminta maaf kepada Joni.
--
Perjalanan ke Karimunjawa memakan hampir empat jam. Untungnya, laut tenang dan Kath tidur sepanjang perjalanan. Ditemani oleh bau garam yang menusuk hidung, aku berbincang-bincang dengan Joni; aku memberitahu alasan kenapa aku sangat bersikeras untuk mencapai Karimunjawa hari ini dan ia memberitahuku kalau ia adalah cucu satu-satunya yang bersedia membantu neneknya mengelola usaha ini. Aku merasa iba dan mengingatkan diriku sendiri untuk memberikan tip ekstra untuk Joni.
Jam tanganku menunjukkan pukul setengah tujuh sore saat aku dan Kath menginjakkan kaki di Karimunjawa. Begitu mendarat, Kath langsung berlari di pesisir pantai setelah melepas topi jeraminya. Tingkat panas yang di luar normal itu pun mulai turun seiring dengan terbenamnya matahari. Hangatnya pasir putih yang kuinjak dan bunyi ombak menderu mengingatkanku kalau ini bukan mimpi, mereka mengingatkanku akan tujuanku datang kesini: Dewi.
Aku menyalami dan mengucapkan terima kasih kepada Joni. “Kita akan berangkat pulang ke Semarang besok jam tujuh pagi,” serunya sambil berjalan ke arah rumah penduduk untuk beristirahat.
“Kath, come on (ayo), kita harus mulai mencari mommy,” aku berteriak sambil berlari kecil mengikuti Kath.
Aku menghampiri setiap orang yang kutemui dan menanyakan apakah mereka bertemu dengan wanita berumur 30-an, berkulit sawo matang, dengan tinggi hampir 160 cm. Jawaban mereka semua sama: “Banyak.” Remind me to marry someone more unique next time (Ingatkan aku untuk menikahi wanita yang lebih unik lain kali).
 Aku merasakan tarikan pada celana jeansku. Aku memandang ke bawah dan melihat Kath. “What now dad? (Lalu bagaimana Ayah?)” tanyanya.
 “Not much (Kita tidak bisa apa-apa), kita cuma bisa nunggu sampai besok pagi,” Aku berjongkok dan merebut boneka beruang yang dari tadi dipeluk Kath dengan erat. “Sepertinya Mr. Teddy Bear mau menikmati Karimunjawa. Daddy juga mau, Kath mau ngga?”
Kath mengangguk dengan keras. “Kita bertiga are having a date (berkencan)!” serunya dengan penuh semangat seraya merebut Mr. Teddy kembali dari tanganku.
Matahari sudah terbenam sepenuhnya, aku mengangkat kepalaku dan bukannya melihat kegelapan malam yang membutakan, aku malah melihat puluhan bintang – atau bahkan ratusan – yang menyilaukan mataku. Bulan sabit ikut menyilaukan lautan bintang yang terang benderang tersebut. Kami melepas sepatu kami dan berjalan di sisi pantai yang basah. Air pantainya begitu jernih sehingga – dengan bantuan cahaya bintang – aku dapat melihat kakiku dengan jelas meskipun malam sudah mengambil alih siang. Di kejauhan aku melihat kapal kecil sedang berlayar di tengah gelapnya pantai malam. Kath melihat seekor bintang laut di pasir. Ia memungutnya dan meminta ijin untuk membawa bintang laut tersebut pulang ke Surabaya. Aku mengambil bintang laut tersebut dari tangannya dan melemparkannya kembali ke laut. Aku mengedipkan mataku dan Kath berhenti merengek. Di sekelilingku terlihat orang-orang yang sedang memancing; rupanya sedang ada perlombaan memancing. Terdengar sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan ketika salah satu dari mereka berhasil menangkap ikan. Aku bisa berbicara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan sangat lancar, tapi tidak ada kata-kata yang tepat – walau seluruh kosakata kedua bahasa tersebut digabung – untuk menggambarkan indahnya pulau ini.
Mommy is not here, Kath, (Ibu tidak ada disini, Kath,)” tatapanku jauh ke arah pantai yang dimakan gelapnya malam. Aku merasakan belaian dari rambutku yang berkibas-kibas dengan kencang diterpa angin. “Apakah kamu menyesal datang kesini?”
No! (Tidak!)” seru Kath sambil memegangi topinya agar tidak terbawa angin. “Kath sangat senang telah datang ke sini. It’s a really beautiful place, we should come here with mommy next time (Ini tempat yang sangat indah, kita sebaiknya ke sini lagi bersama ibu lain kali)! Daddy, mommy, Kath, and Mr. Teddy Bear!” ia berpaling ke arahku dengan senyuman terlebar yang pernah kulihat.
--
Aku dan Kath memilih untuk tinggal di homestay daripada di hotel mewah. “It’s not every day (Jarang-jarang) kita ada di pulau yang seindah ini. Mendingan kita tinggal di rumah penduduk merasakan pengalaman baru daripada di hotel mewah, right, Kath?”
Kath tidak menjawab, ia memeluk bonekanya erat-erat dan mengangguk lemah. Aku melirik ke arah jam tanganku. Jam 10 malam. Tidak heran, jam segini biasanya Kath sudah terkulai lemas di ranjang bersama dengan Mr. Teddy kesayangannya.
Untungnya, kami menemukan satu homestay yang masih kosong, aku membayar biaya inap untuk semalam dan kami tergeletak di ranjang. Meskipun masih agak panas, udara di sini sangatlah berbeda dibandingkan dengan udara di Surabaya. Mungkin karena tidak ada mobil dan sepeda motor di pulau ini, yang jelas udara di tempat ini sangatlah segar. Angin sepoi-sepoi dari laut membawa bau garam yang menusuk hidungku dan tanpa kusadari, aku terlelap bersama Kath.
--
Aroma kopi dan ikan panggang membangunkanku dari tidurku yang lelap. Jika harus memilih antara dibangunkan dari tidur panjang, aku pasti akan memilih dibangunkan dengan kopi seperti ini daripada dengan ciuman seperti di cerita Sleeping Beauty. Aku membangunkan Kath dan kami mengucapkan salam kepada pemilik homestay. Aku mencuil ikan panggang yang telah disiapkan tersebut, mencocolkannya ke sambal kecap yang dilengkapi dengan bawang putih dan pencit (mangga muda), dan memasukkannya ke mulutku. Ikan penuh bumbu tersebut lumer di mulutku; rasa gurih, rasa asin, rasa manis, rasa kecut, dan sedikit rasa pahit dari bagian gosong ikan tersebut bercampur menjadi suatu paduan rasa yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Meskipun makanan ini sederhana, ekspresi Kath menggambarkan bahwa ia sangat menikmati santapan ini. Aku sangat terkejut ketika melihat Kath meminta piring kedua. Ia sama sekali tidak pernah makan selahap ini meskipun di restoran ternama di Surabaya. Kami makan dengan nikmat dan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka selagi kami bersiap untuk kembali ke Semarang.
Saat kami berjalan ke pelabuhan, matahari pagi menyinari kami dan menyilaukan mata kami. Di kejauhan aku dapat melihat segerombolan orang yang sedang mengantri. Aku mendekati mereka dan harus bertanya tiga kali sebelum aku percaya bahwa mereka sedang mengantri untuk berenang bersama ikan hiu. Ikan hiu. Can you believe it? (Percayakah kamu?) Aku melihat seseorang memegang kamera dan mengambil foto seorang turis yang sedang berenang dikelilingi beberapa ikan hiu. Saat aku berusaha menjauhkan diriku dari ikan hiu sejauh mungkin, Kath malah melompat kegirangan dan memohon agar aku mengijinkannya renang bersama ikan hiu saat kita ke sini lagi. ‘Never (tidak akan),’ jawabku ketus.
Perjalanan tiga setengah jam menggunakan kapal ferry ke Semarang berjalan dengan cepat. Aku memeluk Joni dan berterima kasih atas bantuannya selama dua hari ini. Saat aku berusaha memberinya tip, ia menolak dan berkata, “I am hope you find you wife soon (Aku berharap kamu menemukan istrimu).” Bahasa Inggrisnya memang kurang baik, tapi Joni adalah salah satu orang Indonesia yang paling tulus yang pernah kutemui. Aku tersenyum dan berpisah dengannya.
Aku dan Kath naik taksi dan berangkat ke bandara Achmad Yani untuk terbang kembali ke Surabaya. Kath menghabiskan waktu perjalanan satu jam dengan tidur sambil memeluk Mr. Teddy Bear kesayangannya. Bahkan waktu pramugari datang untuk memberikan minuman, Kath tetap terlelap. Ia memang agak mirip dengan Dewi dalam hal stamina, mereka sama-sama gampang lelah.
Kami tiba di Surabaya jam dua siang. Karena pesawat kami ke Raja Ampat masih dijadwalkan untuk besok, kami memutuskan untuk pulang ke rumah untuk beristirahat. Perjalanan dari Juanda ke rumah kami tempuh dalam 30 menit. Selagi aku memarkirkan mobil di garasi, Kath menyadari bahwa lampu ruang tamu menyala. Kami langsung bergegas berlari ke dalam rumah dan mendapati Dewi sedang duduk di sofa.
“Dewi?” panggilku, aku menjatuhkan ranselku di lorong pintu masuk sambil berjalan ke arahnya. “Ke mana saja kamu dua hari ini?”
Dewi tidak menjawab, ia hanya terkulai lemas. Aku mulai panik dan berlari ke arahnya sambil tetap mengenggam Kath. Aku merasakan genggamanku semakin erat. Saat aku mulai mendekati Dewi, aku dapat melihat mukanya begitu pucat. Detak jantungnya tak beraturan. Hal terakhir yang kuingat adalah tangisan Kath dan semua menjadi gelap.
--
“VSD,” kata lelaki berbaju putih tersebut seraya ia mencoret-coret kertas yang terletak di mejanya.
I’m sorry? (Maaf?)” Aku menggelengkan kepalaku supaya dapat lebih berkonsentrasi.
“VSD, atau Ventricular Septal Defect, adalah kelainan sejak lahir dimana terdapat lubang antara ruang jantung kanan dan kiri, sehingga darah pindah ruangan melewati lubang, bukannya melewati paru-paru. Karena itu, darah tidak mendapatkan persediaan oksigen dari paru-paru dan akibatnya bisa fatal.”
Kath mulai menangis. Lagi. “Tapi Dewi dapat disembuhkan kan, dok?” kataku sambil mengenggam tangan Kath, berharap ini semua hanya mimpi. Mimpi yang buruk.
“Seperti yang sudah saya katakan, VSD ini kelainan sejak lahir. Dalam kasus Dewi, ia telah menjalani operasi saat ia berumur satu tahun.” Dokter berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. “Sayangnya, operasi itu tidak sempurna dan lubangnya telah terbuka lagi.” Ia melepas kacamatanya dan berdehem sebelum melanjutkan vonisnya. “Lubang di jantung Dewi sudah terbuka selama kurang lebih 10 tahun. Apabila Dewi datang ke sini lima tahun lalu, kami dapat dengan mudah menangani ini. Namun untuk sekarang… sudah sangat terlambat. Kita hanya bisa berdoa dan menunggu waktu.”
Sepuluh tahun yang lalu… Aku masih ingat itu adalah masa-masa di mana stamina Dewi mulai menurun. Perjalanan singkat di mall pun adalah sesuatu yang sangat melelahkan baginya. Aku pikir itu hanya disebabkan oleh kekurangan olah raga. Aku menyuruh Dewi berolah raga lebih rutin sejak itu, namun Dewi tidak pernah mau. Rupanya itu adalah gejala pertama dari VSD.
--
Satu minggu kemudian, adik Dewi mengirimiku surat yang ditulis Dewi pada masa-masa terakhirnya. Tertulis demikian:
Dear Nick, jika kamu sedang membaca surat ini, berarti aku sudah berada dalam kondisi dimana aku tak bisa berbicara langsung kepadamu. Kamu pasti heran ke mana aku pergi beberapa hari sebelum penerbangan kita ke Amsterdam. Aku tidak ke mana-mana, aku hanya pergi ke rumah adikku. Ini caraku protes, Nick. Aku sebenarnya ngga mau kita meninggalkan negeri ini, meninggalkan Indonesia. Kamu memang tidak dilahirkan di Indonesia, tapi aku? Aku dilahirkan dan menghabiskan 35 tahun di sini, Nick. Aku tidak mau ke Amsterdam. Aku cinta negara ini.”
Aku sebenarnya sudah lelah dengan kehidupan di Indonesia. Korupsi, nepotisme, kerusuhan, kemacetan, belum lagi penyanyi dangdut yang rasis itu. Aku capek dengan polusi yang disebabkan oleh orang-orang kaya yang tetap membeli BBM bersubsidi, dengan mereka yang buang sampah sembarangan dan menyebabkan banjir dimana-mana. Aku mendapatkan tawaran kerja di Amsterdam beberapa minggu lalu dan berencana memulai hidup baru di sana dengan Dewi dan Kath. Kesimpulannya? I don’t like Indonesia (Aku tidak suka Indonesia).
Surat Dewi masih berlanjut: “Aku tau kematian sedang merayap ke arahku dengan perlahan. Aku berobat ke rumah sakit tahun lalu dan divonis bahwa aku hanya memiliki dua tahun lagi untuk hidup. Kamu tau kenapa aku pergi dari rumah beberapa hari sebelum pesawat kita ke Amsterdam berangkat dan menyuruhmu mencariku di tempat paling indah di Indonesia? Agar kamu pergi melihat Indonesia dengan mata kepalamu sendiri, Nick. Agar kamu dapat melihat betapa indahnya negeri yang kucintai ini. This is my dying wish, Nick. (Ini permintaan terakhirku, Nick). Agar kamu berdamai dengan Indonesia. Agar kamu mengubah sudut pandangmu terhadap Indonesia meskipun hanya sedikit. Agar kamu mengetahui bahwa Indonesia adalah tempat yang indah. Agar kamu mulai mencintai negeriku yang kucintai.”
It’s her dying wish (Ini permintaan terakhirnya). Suami macam apa aku bila aku tak bisa menyanggupi keinginan terakhir istriku? Sejujurnya, perjalananku mencari Dewi – meskipun sangatlah singkat – telah membantu mengubah sedikit pandanganku terhadap Indonesia. Rupanya masih ada orang-orang yang dengan tulus hati membantu orang lain seperti Joni, masih ada tempat di Indonesia yang begitu indah dan perlu dipertahankan seperti Karimunjawa. Oh jangan salah, I still don’t like Indonesia, I’m just trying my best to love it (Aku masih tidak suka Indonesia, aku hanya berusaha dengan sangat keras untuk mencintainya.)
Bagian akhir surat Dewi: “Oh, aku hampir lupa. Kalau aku harus memilih antara kamu atau Indonesia, aku akan memilihmu. I love you, Nick, I really do (Aku sayang kamu, Nick).”
Air mataku tak dapat berhenti. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menangis. Aku berharap ini semua hanya mimpi yang buruk dan memukul tembok begitu keras sampai kulit tanganku mengelupas. Rasa sakit memenuhiku, namun aku tidak terbangun dari mimpi buruk ini. Aku mulai menyadari bahwa ini semua adalah kenyataan yang kejam. Aku menangis dan menangis, dan saat aku merasa air mataku sudah habis, aku menangis sedikit lagi. Kath melihatku menangis dan ia menangis lebih keras lagi hingga ia terlelap. Kath menangis begitu lama sehingga ia membutuhkan make-up yang sangat tebal untuk menutupi bendolan hitam yang ada di bawah kedua matanya saat kami menghadiri pemakaman Dewi.
--
Beberapa bulan telah berlalu sejak kematian Dewi, Aku memutuskan untuk membawa Kath pergi memulai hidup baru di Amsterdam. Drastisnya perbedaan cuaca antara Amsterdam di musim dingin dan Indonesia mengguncang Kath awalnya. Tapi setelah beberapa minggu, Kath mulai terbiasa dan menyukai Amsterdam.
“Hey, new guy. Where are you from? (Hei, orang baru. Kamu dari mana?)tanya Frans, rekan kerjaku, sambil menyuguhkan kopi hitam panas untukku.
Originally, I’m from States. But I’ve spent my last 10 years in Indonesia (Aku dilahirkan di Amerika, tapi aku telah menghabiskan 10 tahun terakhirku di Indonesia),” kataku sambil mengambil kopi yang disuguhkan padaku dan menyesapnya pelan-pelan.
“Why did you move here from Indonesia? (Kenapa kamu pindah ke sini?)”
My wife passed away a few months ago. I moved here from Indonesia because everything there started to remind me of her. Staying in Indonesia was too painful for me (Istriku meninggal beberapa bulan lalu. Aku pindah ke sini dari Indonesia karena segala sesuatu di sana mengingatkanku akannya. Menetap di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan untukku).”
I’m really sorry to hear that (aku turut bersedih),” kata Frans sambil menepuk pundakku. “But how about Indonesia itself? I’ve never been there and I’m thinking of going there for my vacation (Tapi bagaimana dengan Indonesia sendiri? Aku tidak pernah ke sana dan aku berpikiran untuk pergi ke sana untuk berlibur).”
 “It’s true that the government is corrupt, there is flood here and there, and the air is polluted. (Memang benar bahwa pemerintahnya penuh korupsi, banjir dimana-mana, dan udaranya juga sangat kotor.)”
Yep, I’ve heard about it, (Yep, aku sudah dengar tentang hal itu.)” kata Frans sambil memegang kopi panasnya dengan kedua tangannya untuk menghangatkan badannya dari salju yang mendera.
But, every country has its own problems and its own upsides. Indonesia has nice people and there are great places to be if you’re looking to relax. Indonesia might not be the most beautiful country on Earth. But it’s pretty damn close for me. In fact, I’m planning to go back there for my vacation. We have beaches and pretty girls and the sun shines all year long. Would you like to come see Indonesia for yourself? (Tapi, setiap negara ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Indonesia memiliki banyak orang baik dan banyak tempat indah bila kamu ingin bersantai. Indonesia memang bukanlah negara terindah di Bumi ini, tapi sudah sangat indah buatku. Aku berencana untuk berlibur di Indonesia. Kita punya pantai, wanita cantik, dan musim panas setiap hari. Apakah kamu tertarik?)” tanyaku dengan senyum simpul menghiasi wajahku.
Yes I would! (Ya, saya tertarik!)” ujar Frans sambil membukakan pintu masuk gedung kerjaku. “Would you be my tour guide, Nick? (Bersediakah kamu menjadi pemandu wisataku, Nick?) ”
I would love to! (Dengan senang hati!)” seruku sambil menghabiskan kopiku.
Kesimpulannya? Aku dulu tidak menyukai Indonesia. Tapi setelah melihat cinta Dewi kepada Indonesia, aku tak bisa terus-terusan membenci Indonesia. Aku memang tak bisa berkata dengan penuh percaya diri bahwa aku mencintai Indonesia, tapi satu hal yang pasti, aku tidak lagi membenci Indonesia.

-

December 12, 2012

On breakups.

I'm supposed to be writing my short story that I need to submit in two days. I'm also supposed to write something happy since I just got into a relationship. But no, I decided to write about this since one of my good friends just broke up. If you're reading this, I dedicate this post for you.


"It's not working out." His flat tone creeps you out, but there is nothing you can do about it. "Let's break up," he adds bitterly. You try to say something, anything. You try to cry, you try to shout, you try to ask 'Why?' but nothing comes out. You just gaze at him with a blank stare.

The next thing you know, you're holding your phone as you cry. You cry and cry as we listen to you without knowing what to say to console you. And when you think you're finally done crying, you'll cry a little bit more. We try to say something like "He has a better plan for you," or  "I'm sure your prince charming is out there waiting for you. Waiting for your smile that will shake his world." But you clamp your ears shut, you refuse to listen to other people. And you keep on crying for a little bit more. You realize that breakup doesn't kill, the realization that you'll never be with him again does.

The next day, you think the worst has passed. You think you can finally pick up the pieces of your heart and start moving on. But who are you kidding? We all know this is the part that would kill you, or -- if it doesn't -- at least it would cripple you. Even the slight sight of their gifts starts to irritate you. You're thinking of throwing away whatever reminds you of them. But you're not ready to throw away everything, are you?

You get a lot of attention, yet you're getting tired of telling your story over and over again to friends and to strangers. You start faking smiles and you start faking 'I'm fine' when we ask "Are you okay?" or "How are you doing?" But we all know you are not. We all know you're not fine. In fact, we all know you're the farthest thing away from okay.

You read books. You watch movies. You play games. You cook. You do sports. You hang out with your friends. You try to distract yourself from thinking of him. You don't want to think about him, let alone talk about him with your friends.

A week passes and you start saying to yourself that you have to move on. You have to pick up the broken pieces of your heart. Everything starts to be okay. You're still irritated when you see couples being lovey-dovey when you're hanging out with your friends. You try to throw a shoe at them, but your friends manage to hold you. Other people's relationships hurt you, but you start moving on.

A month passes and your heart starts to heal. You begin to think that being single isn't all that bad. Having no one to care about but yourself. Having no one to please but yourself. You start thinking that being single is better than being in a relationship that cuts your heart a bit more by each breath you take.

A few months pass and you're whole again. The sight of other people's relationships don't bother you as much as it did a few months ago. You start smiling from your deepest heart, wondering whose world you will shake using your smile. And whose smile will shake yours.