An obligatory Pusheen picture. |
Kelingking saya perawan.
Saya adalah sifat anarkis yang menjelma menjadi seorang manusia. Umur saya 22 tahun, tapi saya tidak pernah mencoblos sekali pun seumur hidup. Awalnya bermula karena saya tidak pernah berada di Indonesia ketika periode pemilu berlangsung, tapi entah sejak kapan ke-golput-an menjadi sesuatu yang saya banggakan. Bahkan ketika Starbucks atau vendor-vendor lain mengiming-imingi pencoblos dengan diskon dan promo lainnya, saya masih menjaga keperawanan kelingking saya dan bersikeras mempertahankan ke-golput-an saya.
Dengan enggan saya mengakui ini, tapi saya baru tahu bulan lalu kalau mencoblos dilakukan dengan menggunakan paku. Saya selalu berpikir bahwa aktivitas pencoblosan dilakukan dengan mencelupkan jari kelingking ke tinta dan mencobloskan jari bertinta tersebut ke kertas.
Saya adalah orang yang cukup pintar. Jika IQ adalah satu-satunya indikasi kepintaran, saya lebih pintar dari 98% manusia di bumi ini. Sayangnya, IQ bukanlah indikasi kepintaran yang sah. Dan saya telah menunjukkan betapa terbelakangnya saya dalam urusan politik.
Oleh karena itulah, saya tidak akan menulis dari sudut pandang politik, atau bahkan mengenai bagaimana Mr. P dilanda tuduhan mendalangi kerusuhan Mei 1998, atau tuduhan penculikan dua mahasiswa menjelang Orde Baru, atau bahkan tuduhan kudetanya terhadap pemerintahan Habibie. Karena kita tidak akan bisa tahu mengenai kebenaran isu-isu tersebut.
Melainkan, saya ingin mengalihkan perhatian kita kepada isu-isu lain yang lebih saya kuasai, ekonomi. Sebenarnya, topik balet juga lebih saya kuasai jika dibandingkan dengan politik. Anyway.
Salah satu janji dalam kampanye Mr. P yang sangat menarik perhatian saya adalah ketika ia mengatakan akan menaikkan upah buruh menjadi enam juta Rupiah, atau menjadi 2.5 kali lipat dari upah buruh yang sekarang. Janji ini, tentu saja, menarik bagi para buruh yang kurang memiliki pengertian tentang kondisi ekonomi makro Indonesia.
Mari kita anggap perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan buruh-buruh tersebut tidak keberatan membayar enam juta Rupiah untuk tiap buruh per bulannya. Kenaikan gaji buruh sebesar 150% berimplikasi kenaikan biaya produksi setidaknya 150%. Tentu, buruh-buruh sekalian akan memiliki nominal uang yang lebih banyak dari sebelumnya. Hal yang mereka tidak ketahui adalah konsep inflasi. Dengan membengkaknya biaya produksi, tentunya harga setiap barang di market akan mengalami kenaikan yang signifikan juga. Janji Mr. P ini bukannya mensejahterakan kehidupan buruh, melainkan malah menghancurkan perekonomian Indonesia.
Janji manis ini hanyalah memperkuat poin yang diulas oleh Anies Baswedan dalam pidatonya "Mengapa Jokowi?" Dalam pidato tersebut, Anies Baswedan mengatakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki pengertian mendalam tentang ekonomi makro; selain itu, ia juga menyindir mengenai Mr. P yang menelan mentah-mentah estimasi kebocoran anggaran negara sebesar 7,000 triliun Rupiah yang dikemukakan oleh KPK.
Tujuh ribu triliun Rupiah. Just let that sink in. PDB Indonesia pada tahun 2012 hanyalah sebesar 878 miliar USD (atau 8,780 triliun Rupiah). Masak sih anggaran negara bocor 80% dari PDB? Lak yo gak mungkin toh?
Bahkan ketika melihat debat antar capres, saya rasa cukup jelas siapa di antara mereka berdua yang lebih menguasai isu-isu yang mendesak Indonesia. Berbicara murni dari sudut pandang ekonomi, cukup jelas lah pemimpin mana yang akan membawa Indonesia ke arah yang seharusnya.
10 tahun sudah Indonesia dipimpin oleh seorang presiden yang, jika kita telaah ke belakang, prestasi positif terbesarnya adalah menciptakan empat album lagu. Tiba kiranya kita memilih sebuah pemimpin yang berani melakukan sesuatu, seorang pemimpin yang memang turun tangan.
Jokowi baru saja menghabiskan sepertiga masa jabatannya sebagai gubernur Jakarta, namun kita sudah dapat merasakan apa yang Beliau lakukan. Pluit tak lagi merasakan air bah tiap musim hujan dan Tanah Abang sekarang sudah lebih bersahabat. Bayangkan apa yang akan Beliau lakukan jika diangkat menjadi pemimpin Indonesia?
Tulisan ini bukanlah sebuah persuasi, melainkan sebuah justifikasi. Saya hanyalah seorang bocah ingusan yang berpikir bahwa coblosan itu dilakukan menggunakan jari bertinta. Saya rasa para pembaca sekalian lebih berwawasan dan bisa memilih pemimpin yang akan membawa Indonesia ke jalan yang sebenarnya.
Kelingking saya perawan. Tapi untuk Jokowi, saya bersedia melepaskannya.