Yes, I know what you're thinking. And I can't believe it either. I just wrote a short story in Indonesian. Ugh. Whatever, this is a short story I wrote for a competition. So it will mean A LOT to me if you tell me what needs to be changed and how I can improve my story-writing. Thank you so much for reading!
Indonesia,
Negaraku yang Dulu Kubenci
“Dear Nick, I love you. Sungguh, aku
sayang kamu. Tapi kalau aku harus memilih antara kamu atau Indonesia – “
suratnya terputus begitu saja. Aku memberanikan diri dan membalik surat
tersebut. “The next time we meet, it will
be at the most beautiful place in Indonesia (Pertemuan kita berikutnya akan
berada di tempat yang paling indah di Indonesia). With love, Dewi.”
Aku
meremas surat itu dan melemparnya sekuat tenaga ke arah tembok. Really, Dewi? (Kamu serius, Dewi?) Kita cuma
punya waktu kurang dari lima hari dan kamu merasa ini waktu yang cocok untuk
main petak umpet?
“What’s wrong, daddy? (Ada apa, Ayah?)”
Kathleen akhirnya terbangun dan keluar dari kamar tidurnya.
“Nothing (tidak ada apa-apa), Kath. Go back to sleep (Tidurlah lagi),” aku
mengibaskan tanganku ke arah Kath tanpa meliriknya.
“Di
mana Mommy?” Kath mengusap matanya dengan tangan kanannya. Tangan kirinya
memeluk boneka beruang hadiah ulang tahun ketujuhnya yang baru saja lewat dua
bulan lalu.
“Mommy
pergi keluar sebentar, dia akan pulang sebentar lagi. Go back to sleep (Kembali tidurlah).” Aku bangkit dari kursiku dan
membelai rambut pirang Kath yang bersinar keemasan. “OK?”
Kath
mengangguk dan berjalan kembali ke arah kamar tidur. Detak bunyi jam dinding yang
pelan terdengar menggelegar di subuh yang sunyi ini. 4:30 pagi. Desahan halus
terlepas dari mulutku. Aku melihat ke sekeliling dan melihat handphone Dewi
tergeletak di atas meja makan di sebelah ia meletakkan suratnya. Pandanganku
lalu tertuju pada surat kusut yang terkulai di lantai. The most beautiful place in Indonesia, huh? (Tempat terindah di
Indonesia?) Aku menggumam seraya membuka laptopku. Better start looking, then (Lebih baik aku mulai mencari kalau begitu).
--
Aku
menyeruput kopi hitamku yang mulai menjadi dingin. Matahari menyeruak menerangi
meja kerjaku. Setelah bertanya pada Google dan teman-teman Dewi, aku memiliki
dua pilihan: Karimunjawa dan Raja Ampat. Tepat setelah aku memesan dua tiket
pesawat ke Raja Ampat untuk besok lusa, Kath muncul di belakangku. Ia masih
memeluk boneka beruangnya dengan erat. “What’s
for breakfast? (Ada sarapan apa?)” katanya sambil menguap lebar-lebar.
“Nothing (tidak ada apa-apa),” aku
berdiri dan menutup laptop. “Get ready
(bersiaplah), Kath. We’re going on an
adventure (Kita akan pergi berpetualang).” Mata Kath terbelalak dan ia
berteriak kegirangan selagi ia bersiap-siap.
--
“Daddy,
kita kemana pergi?” Dewi dan aku memang lebih banyak berbicara menggunakan
bahasa Inggris sehari-hari, sehingga bahasa Indonesia Kath masih agak canggung.
“Juanda,”
kataku dengan mata tetap terpaku pada jalanan Surabaya yang dipenuhi oleh
sepeda motor. “Kita pergi mencari Mommy,” aku mencoba menekan kegelisahanku,
tapi suaraku tetap bergetar. “Mommy sedang berada at the most beautiful place in Indonesia (tempat terindah di
Indonesia). Kath tau di mana kira-kira mommy berada?”
Kath
menggelengkan kepalanya. “Di mana?”
“Daddy
rasa di Karimunjawa atau Raja Ampat.”
“Why there? (Kenapa dua tempat itu?)” Aku
dapat merasakan tatapan matanya tertuju ke arahku.
“You were still young back then (Kamu
masih anak-anak dulu), tapi dulu daddy pernah ngajak mommy pergi hiking, ga
sampe satu jam, mommy sudah merengek-rengek minta pulang. Mukanya pucat seperti
salju. Mommy ga pernah ngaku, tapi daddy rasa mommy takut ketinggian deh,” aku
tersenyum mengingat-ingat kejadian itu. “That’s
why daddy rasa mommy ga pergi ke gunung.”
“How about other places? (Bagaimana
dengan tempat lain?)” Kath bertanya sambil memeluk bonekanya lebih erat.
“Yes, memang ada banyak pantai lain,
seperti Lombok atau Bali. Tapi mommy ga suka keramaian, remember?”
Kath
mengangguk. “So, where are we going?
(Jadi, kita pergi kemana?)”
“Semarang.
We’re going to Karimunjawa (Kita
pergi ke Karimunjawa),” jawabku sambil mengambil karcis parkir Juanda.
--
Dua
juta rupiah dan dua jam kemudian, Kath dan aku tiba di Semarang. Kami lalu bertanya-tanya
kepada orang-orang cara pergi ke Karimunjawa. Rupanya untuk mencapai
Karimunjawa, kami perlu menaiki kapal dari pelabuhan Semarang, Tanjung Emas.
Sesampainya
di Tanjung Emas, aku dan Kath dihadapkan dengan pemandu wisata yang terlalu ramah.
“Halo
halo! Where you go guys? (Kalian mau
ke mana?)” Kulit pemandu wisata tersebut terlihat gosong terbakar sengatan
matahari. Bahasa Inggrisnya memang tidak terlalu bagus, tapi aku dapat
merasakan semangatnya.
“Kami
mau pergi ke Karimunjawa,” aku menjawab seraya menepuk kepala Kath yang
dilindungi oleh topi jerami.
Pemandu
wisata tersebut tertegun untuk sementara, mungkin ia tidak menyangka bahwa aku bisa
berbicara bahasa Indonesia dengan lancar, atau mungkin ia sedih karena ia tidak
mendapatkan peluang untuk memamerkan bahasa Inggris capjay-nya. “Karimunjawa? Yes
yes, ikuti saya please.” Pemandu
wisata tersebut – yang ternyata bernama Joni – pun mulai berjalan dan
melambaikan tangannya mengisyaratkan agar kami mengikutinya.
Tidak
sampai lima menit berjalan, aku dan Kath berdiri di sebuah loket. Di belakang loket
tersebut, duduk seorang nenek. “Karimunjawa?” tanyanya.
Aku
mengangguk. “Satu orang dewasa, satu anak kecil,” kataku sambil melirik ke arah
Kath yang mengibas-ngibaskan bajunya yang basah oleh keringat. Panas kota
Semarang hari ini memang sudah melampaui batas normal.
“Ferry
Semarang-Karimunjawa cuma ada sampai jam 12 siang.” Nenek melengos sambil menunjuk
ke arah poster yang tertempel di tembok dekat loket. Memang disana tertempel
jadwal perjalanan ferry dan waktu tempuh rata-rata untuk sekali jalan. Tiga
setengah jam. “Kembali saja besok pagi.”
Aku
melihat ke arah jam tanganku. Jam dua siang. Setelah ditolak seperti itu, biasanya
aku akan mengangguk lemas dan kembali keesokan paginya. Tapi tidak kali ini. “Kami
harus sampai di Karimunjawa hari ini juga, Nek,” seruku dengan mata tajam lurus
menatapnya.
Mata
nenek itu terbelalak. Tidak mengherankan. Aku menyangka kata-kata berikutnya
yang akan keluar dari mulutnya adalah ‘Kalau mau sampai hari ini juga, kenapa tidak
beli dari tadi pagi!?’ Namun kalimat yang keluar sangatlah berbeda. “Dari
Semarang ke Karimunjawa butuh waktu tiga setengah jam. Pulang pergi tujuh jam.
Kapal yang berangkat sekarang baru bisa kembali jam sembilan malam. Terlalu
malam dan berbahaya untuk berlayar… Tidak bisa berlayar hari ini, kecuali kamu
menemukan orang yang bersedia berlayar dan menginap di sana,” nenek
menghembuskan nafas panjang sebelum berpaling dan mengaitkan matanya pada Joni.
Joni
tersentak dan melihat ke arah nenek dan aku secara bergantian dengan mata
terbelalak, “Ya?” tanyanya kebingungan.
Aku
memegang kedua pundak Joni, “Please,
Joni, I beg you. (Tolong aku, Jon.)”
Bahkan
Kath melepas topinya dan menundukkan kepalanya. “Please,” pintanya.
Joni
memejamkan matanya sambil menggerutu, “Fine.
This just once, okei? (Baiklah, hanya kali ini saja, oke?)” Aku dapat
menahan tawaku, tapi tidak demikian dengan Kath. Ia terkekeh kecil. Aku menepuk
kepalanya dan meminta maaf kepada Joni.
--
Perjalanan
ke Karimunjawa memakan hampir empat jam. Untungnya, laut tenang dan Kath tidur
sepanjang perjalanan. Ditemani oleh bau garam yang menusuk hidung, aku berbincang-bincang
dengan Joni; aku memberitahu alasan kenapa aku sangat bersikeras untuk mencapai
Karimunjawa hari ini dan ia memberitahuku kalau ia adalah cucu satu-satunya
yang bersedia membantu neneknya mengelola usaha ini. Aku merasa iba dan
mengingatkan diriku sendiri untuk memberikan tip ekstra untuk Joni.
Jam
tanganku menunjukkan pukul setengah tujuh sore saat aku dan Kath menginjakkan
kaki di Karimunjawa. Begitu mendarat, Kath langsung berlari di pesisir pantai
setelah melepas topi jeraminya. Tingkat panas yang di luar normal itu pun mulai
turun seiring dengan terbenamnya matahari. Hangatnya pasir putih yang kuinjak
dan bunyi ombak menderu mengingatkanku kalau ini bukan mimpi, mereka mengingatkanku
akan tujuanku datang kesini: Dewi.
Aku
menyalami dan mengucapkan terima kasih kepada Joni. “Kita akan berangkat pulang
ke Semarang besok jam tujuh pagi,” serunya sambil berjalan ke arah rumah
penduduk untuk beristirahat.
“Kath,
come on (ayo), kita harus mulai
mencari mommy,” aku berteriak sambil berlari kecil mengikuti Kath.
Aku
menghampiri setiap orang yang kutemui dan menanyakan apakah mereka bertemu
dengan wanita berumur 30-an, berkulit sawo matang, dengan tinggi hampir 160 cm.
Jawaban mereka semua sama: “Banyak.” Remind
me to marry someone more unique next time (Ingatkan aku untuk menikahi wanita
yang lebih unik lain kali).
Aku merasakan tarikan
pada celana jeansku. Aku memandang ke bawah dan melihat Kath. “What now dad? (Lalu bagaimana Ayah?)”
tanyanya.
“Not
much (Kita tidak bisa apa-apa), kita cuma bisa nunggu sampai besok pagi,”
Aku berjongkok dan merebut boneka beruang yang dari tadi dipeluk Kath dengan
erat. “Sepertinya Mr. Teddy Bear mau menikmati Karimunjawa. Daddy juga mau, Kath
mau ngga?”
Kath
mengangguk dengan keras. “Kita bertiga are
having a date (berkencan)!” serunya dengan penuh semangat seraya merebut
Mr. Teddy kembali dari tanganku.
Matahari
sudah terbenam sepenuhnya, aku mengangkat kepalaku dan bukannya melihat kegelapan
malam yang membutakan, aku malah melihat puluhan bintang – atau bahkan ratusan
– yang menyilaukan mataku. Bulan sabit ikut menyilaukan lautan bintang yang
terang benderang tersebut. Kami melepas sepatu kami dan berjalan di sisi pantai
yang basah. Air pantainya begitu jernih sehingga – dengan bantuan cahaya
bintang – aku dapat melihat kakiku dengan jelas meskipun malam sudah mengambil
alih siang. Di kejauhan aku melihat kapal kecil sedang berlayar di tengah
gelapnya pantai malam. Kath melihat seekor bintang laut di pasir. Ia
memungutnya dan meminta ijin untuk membawa bintang laut tersebut pulang ke
Surabaya. Aku mengambil bintang laut tersebut dari tangannya dan melemparkannya
kembali ke laut. Aku mengedipkan mataku dan Kath berhenti merengek. Di sekelilingku
terlihat orang-orang yang sedang memancing; rupanya sedang ada perlombaan
memancing. Terdengar sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan ketika salah satu
dari mereka berhasil menangkap ikan. Aku bisa berbicara bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris dengan sangat lancar, tapi tidak ada kata-kata yang tepat –
walau seluruh kosakata kedua bahasa tersebut digabung – untuk menggambarkan
indahnya pulau ini.
“Mommy is not here, Kath, (Ibu tidak ada
disini, Kath,)” tatapanku jauh ke arah pantai yang dimakan gelapnya malam. Aku
merasakan belaian dari rambutku yang berkibas-kibas dengan kencang diterpa angin.
“Apakah kamu menyesal datang kesini?”
“No! (Tidak!)” seru Kath sambil memegangi
topinya agar tidak terbawa angin. “Kath sangat senang telah datang ke sini. It’s a really beautiful place, we should
come here with mommy next time (Ini tempat yang sangat indah,
kita sebaiknya ke sini lagi bersama ibu lain kali)! Daddy, mommy, Kath, and Mr.
Teddy Bear!” ia berpaling ke arahku dengan senyuman terlebar yang pernah
kulihat.
--
Aku
dan Kath memilih untuk tinggal di homestay
daripada di hotel mewah. “It’s not every
day (Jarang-jarang) kita ada di pulau yang seindah ini. Mendingan kita
tinggal di rumah penduduk merasakan pengalaman baru daripada di hotel mewah,
right, Kath?”
Kath
tidak menjawab, ia memeluk bonekanya erat-erat dan mengangguk lemah. Aku
melirik ke arah jam tanganku. Jam 10 malam. Tidak heran, jam segini biasanya
Kath sudah terkulai lemas di ranjang bersama dengan Mr. Teddy kesayangannya.
Untungnya,
kami menemukan satu homestay yang
masih kosong, aku membayar biaya inap untuk semalam dan kami tergeletak di
ranjang. Meskipun masih agak panas, udara di sini sangatlah berbeda
dibandingkan dengan udara di Surabaya. Mungkin karena tidak ada mobil dan
sepeda motor di pulau ini, yang jelas udara di tempat ini sangatlah segar.
Angin sepoi-sepoi dari laut membawa bau garam yang menusuk hidungku dan tanpa
kusadari, aku terlelap bersama Kath.
--
Aroma
kopi dan ikan panggang membangunkanku dari tidurku yang lelap. Jika harus
memilih antara dibangunkan dari tidur panjang, aku pasti akan memilih
dibangunkan dengan kopi seperti ini daripada dengan ciuman seperti di cerita Sleeping Beauty. Aku membangunkan Kath
dan kami mengucapkan salam kepada pemilik homestay.
Aku mencuil ikan panggang yang telah disiapkan tersebut, mencocolkannya ke
sambal kecap yang dilengkapi dengan bawang putih dan pencit (mangga muda), dan memasukkannya ke mulutku. Ikan penuh
bumbu tersebut lumer di mulutku; rasa gurih, rasa asin, rasa manis, rasa kecut,
dan sedikit rasa pahit dari bagian gosong ikan tersebut bercampur menjadi suatu
paduan rasa yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Meskipun makanan ini sederhana,
ekspresi Kath menggambarkan bahwa ia sangat menikmati santapan ini. Aku sangat
terkejut ketika melihat Kath meminta piring kedua. Ia sama sekali tidak pernah
makan selahap ini meskipun di restoran ternama di Surabaya. Kami makan dengan nikmat
dan mengucapkan selamat tinggal kepada mereka selagi kami bersiap untuk kembali
ke Semarang.
Saat
kami berjalan ke pelabuhan, matahari pagi menyinari kami dan menyilaukan mata
kami. Di kejauhan aku dapat melihat segerombolan orang yang sedang mengantri.
Aku mendekati mereka dan harus bertanya tiga kali sebelum aku percaya bahwa
mereka sedang mengantri untuk berenang bersama ikan hiu. Ikan hiu. Can you believe it? (Percayakah kamu?)
Aku melihat seseorang memegang kamera dan mengambil foto seorang turis yang sedang
berenang dikelilingi beberapa ikan hiu. Saat aku berusaha menjauhkan diriku
dari ikan hiu sejauh mungkin, Kath malah melompat kegirangan dan memohon agar
aku mengijinkannya renang bersama ikan hiu saat kita ke sini lagi. ‘Never (tidak akan),’ jawabku ketus.
Perjalanan
tiga setengah jam menggunakan kapal ferry ke Semarang berjalan dengan cepat.
Aku memeluk Joni dan berterima kasih atas bantuannya selama dua hari ini. Saat
aku berusaha memberinya tip, ia menolak dan berkata, “I am hope you find you wife soon (Aku berharap kamu menemukan
istrimu).” Bahasa Inggrisnya memang kurang baik, tapi Joni adalah salah satu
orang Indonesia yang paling tulus yang pernah kutemui. Aku tersenyum dan
berpisah dengannya.
Aku
dan Kath naik taksi dan berangkat ke bandara Achmad Yani untuk terbang kembali
ke Surabaya. Kath menghabiskan waktu perjalanan satu jam dengan tidur sambil
memeluk Mr. Teddy Bear kesayangannya. Bahkan waktu pramugari datang untuk
memberikan minuman, Kath tetap terlelap. Ia memang agak mirip dengan Dewi dalam
hal stamina, mereka sama-sama gampang lelah.
Kami
tiba di Surabaya jam dua siang. Karena pesawat kami ke Raja Ampat masih
dijadwalkan untuk besok, kami memutuskan untuk pulang ke rumah untuk
beristirahat. Perjalanan dari Juanda ke rumah kami tempuh dalam 30 menit.
Selagi aku memarkirkan mobil di garasi, Kath menyadari bahwa lampu ruang tamu
menyala. Kami langsung bergegas berlari ke dalam rumah dan mendapati Dewi
sedang duduk di sofa.
“Dewi?”
panggilku, aku menjatuhkan ranselku di lorong pintu masuk sambil berjalan ke
arahnya. “Ke mana saja kamu dua hari ini?”
Dewi
tidak menjawab, ia hanya terkulai lemas. Aku mulai panik dan berlari ke arahnya
sambil tetap mengenggam Kath. Aku merasakan genggamanku semakin erat. Saat aku
mulai mendekati Dewi, aku dapat melihat mukanya begitu pucat. Detak jantungnya
tak beraturan. Hal terakhir yang kuingat adalah tangisan Kath dan semua menjadi
gelap.
--
“VSD,”
kata lelaki berbaju putih tersebut seraya ia mencoret-coret kertas yang
terletak di mejanya.
“I’m sorry? (Maaf?)” Aku menggelengkan
kepalaku supaya dapat lebih berkonsentrasi.
“VSD,
atau Ventricular Septal Defect, adalah kelainan sejak lahir dimana
terdapat lubang antara ruang jantung kanan dan kiri, sehingga darah pindah
ruangan melewati lubang, bukannya melewati paru-paru. Karena itu, darah tidak
mendapatkan persediaan oksigen dari paru-paru dan akibatnya bisa fatal.”
Kath
mulai menangis. Lagi. “Tapi Dewi dapat disembuhkan kan, dok?” kataku sambil
mengenggam tangan Kath, berharap ini semua hanya mimpi. Mimpi yang buruk.
“Seperti
yang sudah saya katakan, VSD ini kelainan sejak lahir. Dalam kasus Dewi, ia
telah menjalani operasi saat ia berumur satu tahun.” Dokter berhenti sejenak
untuk menarik napas dalam-dalam. “Sayangnya, operasi itu tidak sempurna dan
lubangnya telah terbuka lagi.” Ia melepas kacamatanya dan berdehem sebelum
melanjutkan vonisnya. “Lubang di jantung Dewi sudah terbuka selama kurang lebih
10 tahun. Apabila Dewi datang ke sini lima tahun lalu, kami dapat dengan mudah
menangani ini. Namun untuk sekarang… sudah sangat terlambat. Kita hanya bisa
berdoa dan menunggu waktu.”
Sepuluh
tahun yang lalu… Aku masih ingat itu adalah masa-masa di mana stamina Dewi
mulai menurun. Perjalanan singkat di mall pun adalah sesuatu yang sangat
melelahkan baginya. Aku pikir itu hanya disebabkan oleh kekurangan olah raga.
Aku menyuruh Dewi berolah raga lebih rutin sejak itu, namun Dewi tidak pernah
mau. Rupanya itu adalah gejala pertama dari VSD.
--
Satu
minggu kemudian, adik Dewi mengirimiku surat yang ditulis Dewi pada masa-masa
terakhirnya. Tertulis demikian:
“Dear Nick, jika kamu sedang membaca surat
ini, berarti aku sudah berada dalam kondisi dimana aku tak bisa berbicara
langsung kepadamu. Kamu pasti heran ke mana aku pergi beberapa hari sebelum
penerbangan kita ke Amsterdam. Aku tidak ke mana-mana, aku hanya pergi ke rumah
adikku. Ini caraku protes, Nick. Aku sebenarnya ngga mau kita meninggalkan
negeri ini, meninggalkan Indonesia. Kamu memang tidak dilahirkan di Indonesia,
tapi aku? Aku dilahirkan dan menghabiskan 35 tahun di sini, Nick. Aku tidak mau
ke Amsterdam. Aku cinta negara ini.”
Aku
sebenarnya sudah lelah dengan kehidupan di Indonesia. Korupsi, nepotisme, kerusuhan,
kemacetan, belum lagi penyanyi dangdut yang rasis itu. Aku capek dengan polusi
yang disebabkan oleh orang-orang kaya yang tetap membeli BBM bersubsidi, dengan
mereka yang buang sampah sembarangan dan menyebabkan banjir dimana-mana. Aku
mendapatkan tawaran kerja di Amsterdam beberapa minggu lalu dan berencana
memulai hidup baru di sana dengan Dewi dan Kath. Kesimpulannya? I don’t like Indonesia (Aku tidak suka
Indonesia).
Surat
Dewi masih berlanjut: “Aku tau kematian sedang merayap ke arahku dengan
perlahan. Aku berobat ke rumah sakit tahun lalu dan divonis bahwa aku hanya
memiliki dua tahun lagi untuk hidup. Kamu tau kenapa aku pergi dari rumah
beberapa hari sebelum pesawat kita ke Amsterdam berangkat dan menyuruhmu
mencariku di tempat paling indah di Indonesia? Agar kamu pergi melihat
Indonesia dengan mata kepalamu sendiri, Nick. Agar kamu dapat melihat betapa
indahnya negeri yang kucintai ini. This
is my dying wish, Nick. (Ini permintaan terakhirku, Nick). Agar kamu
berdamai dengan Indonesia. Agar kamu mengubah sudut pandangmu terhadap Indonesia
meskipun hanya sedikit. Agar kamu mengetahui bahwa Indonesia adalah tempat yang
indah. Agar kamu mulai mencintai negeriku yang kucintai.”
It’s her dying wish (Ini
permintaan terakhirnya). Suami macam apa aku bila aku tak bisa menyanggupi
keinginan terakhir istriku? Sejujurnya, perjalananku mencari Dewi – meskipun
sangatlah singkat – telah membantu mengubah sedikit pandanganku terhadap
Indonesia. Rupanya masih ada orang-orang yang dengan tulus hati membantu orang
lain seperti Joni, masih ada tempat di Indonesia yang begitu indah dan perlu
dipertahankan seperti Karimunjawa. Oh jangan salah, I still don’t like Indonesia, I’m
just trying my best to love it (Aku masih tidak suka Indonesia, aku hanya berusaha
dengan sangat keras untuk mencintainya.)
Bagian
akhir surat Dewi: “Oh, aku hampir lupa. Kalau aku harus memilih antara kamu
atau Indonesia, aku akan memilihmu. I
love you, Nick, I really do (Aku
sayang kamu, Nick).”
Air
mataku tak dapat berhenti. Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan
untuk menangis. Aku berharap ini semua hanya mimpi yang buruk dan memukul
tembok begitu keras sampai kulit tanganku mengelupas. Rasa sakit memenuhiku,
namun aku tidak terbangun dari mimpi buruk ini. Aku mulai menyadari bahwa ini
semua adalah kenyataan yang kejam. Aku menangis dan menangis, dan saat aku
merasa air mataku sudah habis, aku menangis sedikit lagi. Kath melihatku
menangis dan ia menangis lebih keras lagi hingga ia terlelap. Kath menangis
begitu lama sehingga ia membutuhkan make-up
yang sangat tebal untuk menutupi bendolan hitam yang ada di bawah kedua
matanya saat kami menghadiri pemakaman Dewi.
--
Beberapa
bulan telah berlalu sejak kematian Dewi, Aku memutuskan untuk membawa Kath
pergi memulai hidup baru di Amsterdam. Drastisnya perbedaan cuaca antara
Amsterdam di musim dingin dan Indonesia mengguncang Kath awalnya. Tapi setelah
beberapa minggu, Kath mulai terbiasa dan menyukai Amsterdam.
“Hey, new guy. Where are you from? (Hei,
orang baru. Kamu dari mana?)” tanya
Frans, rekan kerjaku, sambil menyuguhkan kopi hitam panas untukku.
“Originally, I’m from States. But I’ve spent
my last 10 years in Indonesia (Aku dilahirkan di Amerika, tapi aku telah
menghabiskan 10 tahun terakhirku di Indonesia),” kataku sambil mengambil kopi
yang disuguhkan padaku dan menyesapnya pelan-pelan.
“Why did you move here from
Indonesia? (Kenapa kamu
pindah ke sini?)”
“My wife passed away a few months ago. I
moved here from Indonesia because everything there started to remind me of her.
Staying in Indonesia was too painful for me (Istriku meninggal beberapa
bulan lalu. Aku pindah ke sini dari Indonesia karena segala sesuatu di sana
mengingatkanku akannya. Menetap di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat
menyakitkan untukku).”
“I’m really sorry to hear that (aku turut
bersedih),” kata Frans sambil menepuk pundakku. “But how about Indonesia itself? I’ve never been there and I’m thinking
of going there for my vacation (Tapi bagaimana dengan Indonesia sendiri?
Aku tidak pernah ke sana dan aku berpikiran untuk pergi ke sana untuk
berlibur).”
“It’s
true that the government is corrupt, there is flood here and there, and the air
is polluted. (Memang benar bahwa pemerintahnya penuh korupsi, banjir
dimana-mana, dan udaranya juga sangat kotor.)”
“Yep, I’ve heard about it, (Yep, aku
sudah dengar tentang hal itu.)” kata Frans sambil memegang kopi panasnya dengan
kedua tangannya untuk menghangatkan badannya dari salju yang mendera.
“But, every country has its own problems and
its own upsides. Indonesia has nice people and there are great places to be if
you’re looking to relax. Indonesia might not be the most beautiful country on
Earth. But it’s pretty damn close for me. In fact, I’m planning to go back
there for my vacation. We have beaches and pretty girls and the sun shines all
year long. Would you like to come see Indonesia for yourself? (Tapi, setiap
negara ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Indonesia memiliki banyak
orang baik dan banyak tempat indah bila kamu ingin bersantai. Indonesia memang
bukanlah negara terindah di Bumi ini, tapi sudah sangat indah buatku. Aku
berencana untuk berlibur di Indonesia. Kita punya pantai, wanita cantik, dan
musim panas setiap hari. Apakah kamu tertarik?)” tanyaku dengan senyum simpul
menghiasi wajahku.
“Yes I would! (Ya, saya tertarik!)” ujar
Frans sambil membukakan pintu masuk gedung kerjaku. “Would you be my tour guide, Nick? (Bersediakah kamu menjadi pemandu
wisataku, Nick?) ”
“I would love to! (Dengan senang hati!)”
seruku sambil menghabiskan kopiku.
Kesimpulannya?
Aku dulu tidak menyukai Indonesia. Tapi setelah melihat cinta Dewi kepada
Indonesia, aku tak bisa terus-terusan membenci Indonesia. Aku memang tak bisa
berkata dengan penuh percaya diri bahwa aku mencintai Indonesia, tapi satu hal
yang pasti, aku tidak lagi membenci Indonesia.
-